Sebelum membahas mengenai judul posting kali ini, saya ingin mengucapkan selamat kepada pembaca semuanya karena mungkin anda adalah salah satu petani pelopor yang berani (bukan berspekulasi) untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik dalam sistem tanam yang telah ada di indonesia. Apalagi saat posting ini saya tulis bertepatan dengan persiapan musim tanam (musim penghujan/MP). Baik mari kita mulai pembahasan tentang Panen Padi Meningkat Dengan Pola Tanam SRI.
Sudah tahu semua kah apa itu SRI...?
Mungkin bagi anda para master pertanian khususnya petani padi sudah mengerti betul apa itu SRI, bagaimana penerapannya, apa saja kendalanya dan bagaimana hasilnya karena mungkin sudah mempraktekannya sejak pertama kali sistem ini diperkenalkan di Indonesia. Awalnya saya ragu untuk menulis posting tentang SRI (saya pikir sudah pada mengerti) tapi karena ada permintaan dari beberapa pengunjung blog Pertanian-Indonesia-asia barulah saya sadar bahwa ternyata masih ada yang belum mengerti apa itu SRI dan bagaimana pelaksanaanya. Baik, disini saya akan berusaha memaparkan dengan detail tentang SRI berdasarkan pengalaman dilapangan dan sumber-sumber lainnya.
SRI merupakan sistem pola tanam (padi) yang dilakukan secara intensif dengan menitik beratkan pada proses pembenihan, pengolahan lahan, sistem tanam, pola pengairan dan pemupukan. Kita semua menyadari bahwa kesuksesan dalam bertani dapat diliahat dari hasil panen yang dicapai bisa meningkat atau melebihi batas minimal dari target yang direncanakan. Tanaman padi akan menghasilkan perubahan produktivas yang signikan jika benar-benar produktif. Jadi untuk memenuhi syarat produktif tersebut maka tanaman padi harus :
1. Jumlah anakan per bibit banyak
2. Setiap anakan mampu mengeluarkan malai
3. Malainya panjang dan
Jika keempat syarat tersebut terpenuhi maka saya yakin keberhasilan akan kita dapatkan. Nah, untuk mencapai syarat produktif itulah maka SRI hadir dalam dunia pertanian khususnya padi. Pertanyaanya, kenapa harus SRI ?
Ya, alasannya karena penerapan pola SRI ini berfokus pada 8 (delapan) hal pokok antara lain :
1. Penyemaian benih dilakukan secara intensif
Intensif disini bukan berarti membutuhkan perhatian khusus dalam pelaksanaanya. Namun intensif yang saya maksud adalah menjauhkan lokasi pembenihan dari sumber datangnya hama dan penyakit (lahan persawahan). Pembenihan yang dilakukan adalah dihalaman rumah sehingga benih yang akan kita tanam benar-benar stiril/bebas dari hama dan penyakit. Dengan benih yang sehat maka tingkat produktif dalam menghasilkan jumlah anakan akan semakin besar.
Perlu diketahui pula bahwa pembuatan media persemaian dibuat pada sebuah nampan atau besek. Jumlah media menyesuaikan dengan jumlah kebutuhan.
2. Pengolahan lahan secara sempurna
Tujuan pengolahan lahan adalah merubah bentuk fisik tanah yang semula keras menjadi gembur (berlumpur) dan membalikkan posisi lapisan tanah yang semula di atas menjadi di bawah. Pengolahan lahan yang dilakukan harus benar-benar sempurna yaitu pembajakan dengan kedalaman +30 cm secara merata tidak ada yang terlewat. Dalam proses penggaruan, benar-benar membuat tanah menjadi gembur/berlumpur.
3. Tanam pada saat benih berusia muda
Usia muda yang saya maksud yaitu benih pada umur 7-10 hari setelah semai (HSS). Pada usia tersebut gabah yang tumbuh menjadi tunas/bibit masih tersisa gabahnya (masih ada gabahnya saat benih dicabut). Sisa gabah tersebut akan menjadi makanan sementara bagi benih sebelum akarnya mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya. Sehingga benih yang baru ditanam tidak mengalami
stress/stagnasi setelah proses pencabutan. Dengan menanam benih usia muda maka produktivitas anakannya akan semakin banyak dan produktif untuk mengeluarkan malai. Sedangkan pada pola konvensional benih baru dipindah tanam setelah berumur 20-25 HSS. Padahal sejak benih berusia +20 HSS sudah mulai mengeluarkan 2-3 anakan. Hal ini akan sulit dicapai pada pola konvensional karena tempatnya berdesakan antara satu dengan yang lain. Selain itu akarnya pun saling berebut untuk menyerap nutrisi dari dalam tanah.
stress/stagnasi setelah proses pencabutan. Dengan menanam benih usia muda maka produktivitas anakannya akan semakin banyak dan produktif untuk mengeluarkan malai. Sedangkan pada pola konvensional benih baru dipindah tanam setelah berumur 20-25 HSS. Padahal sejak benih berusia +20 HSS sudah mulai mengeluarkan 2-3 anakan. Hal ini akan sulit dicapai pada pola konvensional karena tempatnya berdesakan antara satu dengan yang lain. Selain itu akarnya pun saling berebut untuk menyerap nutrisi dari dalam tanah.
4. Menyegerakan proses penanaman ke lahan
Maksudnya adalah begitu benih dicabut dari persemaian maka langsung ditanam ke lahan. Jadi tidak ada jeda yang lama antara pencabutan dan penanaman.
Berbeda dengan cara konvensional yang melakukan penanaman dengan jeda beberapa jam setelah pencabutan. Bahkan tak jarang petani di daerah saya menanam keesokan harinya, ada pula yang baru menanam 2 hari kemudian.
Selain itu proses pencabutan benih pun berbeda antara pola SRI dan konvensional. Pada pola konvensional pencabutan dilakukan dengan menarik dibagian batang/daun benih dan tak jarang akarnya putus karena sudah terlalu dalam masuk ke tanah. Hal ini akan berdampak pada tingkat pertumbuhan benih (masa vegetatif) dilahan. Sedangkan pada pola SRI pencabutan dilakukan pada sisa gabah yang masih menyatu dengan benih dan pencabutannya pun mudah sehingga tidak ada akar yang rusak.
5. Benih yang ditanam hanya 1 (tunggal) per rumpunnya
Persepsi sebagian besar petani kita adalah dengan menanam banyak benih per rumpun maka jumlah anakan yang dihasilkan akan semakin banyak. Padahal kenyataan yang ada jumlahnya sekitar 20-25 anakan. Sedangkan dengan pola SRI ini jumlah anakan bisa mencapai 40 – 68 anakan per rumpunnya. Data ini saya peroleh dari pengamatan dilapangan.
6. Penanaman dangkal dengan jarak tanam lebar
Penanaman benih pada pola SRI dilakukan cukup dengan kedalaman 1 cm saja dan menariknya kearah samping atau kebelakang kira-kira 2 cm. Sehingga antara batang dan akar seolah membentuk huruf “L” jadi posisi akarnya cukup dipermukaan tanah saja (tidak masuk terlalu dalam). Cara ini dilakukan agar akar dari benih bisa terus tumbuh dan kedangkalan penanaman memberikan kesempatan yang lebih besar pada tanaman untuk memperoleh oksigen. Selain itu, dengan pola tanam yang dangkal, penyerapan nutrisi dari pupuk yang diberikan akan semakin cepat dan maksimal. Jarak tanam untuk pola SRI biasanya 25x25, 27x27, 30x30 bahkan sudah ada yang mencoba 40x40. Jarak tanam yang lebar diharapkan bisa menghasilkan anakan produktif karena tidak terjadi kompetisi antar tanaman dalam menyerap nutrisi, malainya panjang dan gabah yang dihasilkan pun bernas dari pangkal hingga ujung malai.
Sedangkan pada pola konvensional, penanaman dilakukan cukup dalam antara 5-7 cm. Dengan jumlah bibit 4-7 per rumpun akan mengakibatkan terjadinya penyatuan akar yang pada akhirnya akan terjadi kompetisi dalam penyerapan nutrisi dalam tanah. Jarak tanam pada pola konvensional rata-rata petani masih memilih jarak 20x20 dengan asumsi semakin banyak jumlah rumpun maka jumlah produksi akan semakin banyak. Padahal pada kenyataanya banyak anakan yang tidak produktif, malai pendek dan gabahnya pun banyak yang tidak bernas.
7. Sistem pengairan berselang (buka-tutup).
Tanaman padi bukan merupakan jenis tanaman air, tapi pada proses pertumbuhanya membutuhkan banyak air. Pada pola SRI sistem pengairan benar-benar diatur sesuai dengan kebutuhan. Kapan saat padi butuh air, kapan padi butuh dikeringkan dan lain sebagainya. Pada intinya pola SRI tidak menganjurkan untuk selalu mengenangi lahan dengan ketinggian 2-3 cm. Berdasarkan pengamatan, ternyata penggenangan lahan bisa mengakibatkan akar busuk (warnanya tidak putih bersih) dan membuat kondisi tanah hampa udara. Ini sangat merugikan karena mikroba tanah dan mikroorganisme lain yang menguntungkan akan mati. Jadi kondisi macak-macak adalah yang terbaik untuk tanaman padi. Sistem buka tutup yang saya maksud adalah lahan diairi pada waktu pagi hari dan di keringkan sampai kondisi macak-macak pada sore harinya. Hal ini juga bertujuan untuk menekan pertumbuhan rumput/tanaman pengganggu.
8. Pemupukan semi organik
Pupuk yang digunakan pada SRI adalah 50 % pupuk organik dan 50 % pupuk kimia. Ini merupakan dosis awal jika perlakuan SRI baru pertama kali kita lakukan. Pemanfaatan jerami, kotoran ternak atau vermikompos bisa menjadi pilihan pemenuhan kebutuhan pupuk organik tersebut. Pengaplikasiaanya bersamaan dengan proses pengolahan lahan. Akan lebih baik lagi jika jerami dan kotoran ternak tersebut di fermentasi atau dikomposkan terlebih dahulu untuk meningkatkan kadar nutrisi atau unsur hara yang ada didalamnya.
Untuk melihat cara pengomposan jerami silahkan anda baca DISINI
Jika penerapan SRI yang anda lakukan sudah sesuai dengan 8 (delapan) hal tersebut diatas maka saya yakin produksi gabah yang dihasilkan akan meningkat. Berdasarkan data yang saya peroleh dari praktek maupun beberapa petani lain yang juga melakukan pola SRI, produksinya mencapai 8-12 ton/hektar. Namun data tersebut tidak bisa menjadi patokan karena tingkat kesuburan tanah disetiap daerah berbeda dan pemilihan jenis bibit pun juga menjadi faktor penentunya. Untuk hasil yang maksimal saya rekomendasikan untuk menggunakan bibit Sertani 1.
Semoga posting kali ini bermanfaat bagi pembaca yang sedang berpikir untuk beralih dari pola konvensional ke pola SRI dalam usaha bercocok tanamnya. Sekali lagi melakukan perubahan pola tanam bukan merupakan spekulasi namun merupakan tuntutan untuk berani selangkah lebih maju dalam usaha pertanian. Sehingga panen yang melimpahpun akan ada ditangan kita atas Ridho Yang Maha Kuasa. AMIIIN.
Posting Komentar untuk "Panen Padi Meningkat Dengan Pola Tanam SRI (System of Rice Intesification)"